“Gue teman yang baik tapi organisator yang buruk ya?”
Pertanyaan itu gue lontarin pas
gue lagi ngobrol selama 4 mata sama sahabat merangkap “atasan” gue di sebuah
organisasi. Obrolan selama 20 menit tadi, yang sebagian besar berisi kekecewaan
dan keluhan dia atas kinerja gue selama bekerja sama dengan dia membina sebuah
departemen dalam sebuah organisasi independen. Sejujurnya, seluruh luapan
kekecewaan dia tadi tidak mengejutkan gue. Gue menyadari semua yang dia katakan
emang bener adanya, dan emang itulah yang gue lakuin selama ini, mengecewakan
dia dalam peran gue sebagai organisator.
Semua kekecewaan, keluhan,
amarah, kekesalan, gue terima dengan senyum dan pembenaran, berharap tidak
membuatnya lebih kecewa oleh pembelaan-pembelaan gue. Karena mengecewakan dia
adalah suatu hal yang sebetulnya sangat gue hindari dan menjadi hal terakhir di
dunia ini yang ingin gue lakukan, sebuah hal yang sebetulnya gagal gue hindari.
Miris. Gue pun memang tidak berniat
membela diri, karena semuanya benar dan momennya tidak mengijinkan. Lagipula,
apa yang gue sebut membela diri dan dia sebut ngeles ini tidak akan ada gunanya, gue terlanjur terlalu dalam
mengecewakan dia, dan gue pun lebih memilih atau mungkin dalam hal ini
menginginkan dia menumpahkan semua kekecewaannya itu tanpa harus sibuk
membantah pembelaan-pembelaan gue.
Seperti yang gue bilang tadi, gue
tidak terkejut dengan semua kekecewaan dan keluhan dia, justru hal yang
mengejutkan gue adalah saat dia berkata bahwa dia sampai ingin menangis karena
kekecewaannya terhadap gue ini. Ucapan tersebut membuat gue terkejut dan
memandang matanya dalam-dalam, dan gue tau dia bersungguh-sungguh dengan
ucapannya. Walaupun tidak ada tetes air mata di sana, tapi sorot mata dan nada
bicaranya menyiratkan kesungguhan. Membuatnya kecewa pun sudah membuat gue malu
dan kecewa terhadap diri gue sendiri, apalagi sampai membuatnya menangis, gue
hancur. Yep, I do care of her. Bahkan
mungkin jika bisa, gue akan memilih lebih baik gue yang “menderita” dibanding
gue liat dia yang “menderita”. Gue emang salah, salah besar.
Sebenernya gue merasa gitu bukan
karena gue memiliki perasaan khusus sama dia, hal ini karena gue menganggap dia
sebagai sahabat terbaik gue selama di kampus. Lucu, karena dia cewek pertama
dan satu-satunya yang gue anggap sebagai sahabat. Sebelumnya gue selalu
menghindari menganggap seorang cewek menjadi sahabat, simply, gue tidak ingin membatasi hubungan dengan seseorang. Gue
menganggap menjadikan cewek seorang sahabat hanya akan membatasi berbagai
kemungkinan terjadi di antara kita, gue tidak mau menjadi cowok yang merusak
persahabatan dengan seorang cewek karena adanya rasa yang lain. Tapi dengan dia
semuanya beda, gue baru merasakan asyiknya menjadi sahabat seorang cewek hanya
dengan dia, keasyikan yang membuat gue sampai tidak pernah berpikir akan timbul
rasa yang lain kepada dia. Bagaimana kita bisa berjalan kaki berdua tengah
malam berkeliling Universitas Indonesia, mengobrol di coffe shop atau tempat makan hingga berjam-jam lamanya tanpa
kehilangan topik obrolan, berbicara dan berdiskusi mengenai segala hal, hingga
saling melontarkan candaan dan tawa yang menyenangkan. She is the best female friend i ever had.
Balik ke topik awal,
pasti pertanyaannya sekarang adalah: lantas
kenapa gue masih tetap lakuin itu kalo gue tau itu bakal bikin kecewa?
Ini mungkin sedikit pembelaan
atau ngeles-nya gue sih, tapi gue rasa gue berhak untuk mengungkapkan alasan
gue. Well, hal pertama yang bisa gue notice sih, semua karena ego gue semata.
Gue menjadi organisator yang buruk karena banyaknya konflik internal dalam
organisasi tersebut yang melibatkan gue secara personal. Gue mengakui, gue
emang malas bekerja sama dengan orang yang tidak begitu gue sukai secara personal,
terutama jika gue dan dia memang terlibat konflik personal. Tidak profesional?
Memang, gue akui. Konflik-konflik tersebut memang telah lama berlalu, tapi luka
itu tetap membekas, bahkan mungkin tidak pernah kering dan sembuh. Gue udah
coba untuk menjadi lebih baik dan bersikap lebih profesional, tapi itu teramat
sulit untuk gue lakukan. Tahun ini memang emosi gue sedikit labil, menjadi
lebih malas dengan seseorang ketika ada orang tersebut membuat gue kecewa
terlebih dahulu. Bukan hanya di organisasi tersebut, tapi di beberapa
kesempatan lain di luar organisasi pun seperti itu keadaannya. Jujur gue baru
tahun ini merasa demikian, sebelumnya gue hampir selalu bisa mengontrol diri
dalam membedakan urusan personal dan urusan lain, mungkin gue memang sudah
mencapai batasnya ya?
Awalnya dengan kondisi demikian
gue ingin mengajukan pengunduran diri, tapi niat itu gue urungkan walaupun udah
gue bilang ke dia. Lagi-lagi karena sahabat gue tersebut. Selain karena dulu
dia memang yang meminta secara langsung kepada gue untuk mendampinginya di
organisasi itu, lebih dari itu seperti yang gue udah bilang, gue peduli sama
dia dan ga pengen dia berjuang sendirian. Sebuah hal yang justru malah berjalan
sebaliknya, gue tetap membiarkan dia berjuang sendirian ketika gue berada di
sampingnya. Ironis.
Selain itu, keadaan dan kondisi
akhir-akhir ini yang sering membatasi gue. 22 SKS dengan tugas seabrek,
menjelang semester akhir dengan beban untuk segera lulus, mata kuliah dengan
dosen “menyebalkan”, kuliah dadakan, hingga beberapa kegiatan non-akademis
ternyata menyita “ketersediaan” diri gue
berorganisasi. Gue kelelahan. Gue udah coba tebus dengan berusaha menunjukan
komitmen gue untuk hadir, bahkan hadir paling awal, ketika ada kegiatan
organisasi yang gue tau sedang diadakan dan tidak bentrok dengan janji/kegiatan
yang lebih dulu menyita gue. Yap, first
come first serve, prinsip gue emang gitu
dengan kuliah tetap jadi prioritas utama. Tapi itu belum cukup, gue tetap tidak
bisa berkontribusi lebih, gue tidak produktif lagi.
Terakhir, gue merasa beberapa
rekan organisasi tersebut (sebagian yang pernah berkonflik dengan gue) tidak
kooperatif lagi dengan gue. Sepertinya mereka merasakan hal yang sama dengan
gue soal ego, atau dalam istilah yang lebih umum kita sebut sensi. Hal itu berpengaruh banget, ruang
gerak gue dibatasi, bahkan terkadang gue merasa mereka sengaja meruntuhkan image gue dengan membuat kondisi dimana
seolah-olah gue yang sengaja membatasi diri gue. Pembelaan terakhir ini emang
gue akuin subjektif banget, entah memang cuma gue yang bisa merasakannya atau
gue yang justru dalam hal ini terlampau sensi.
Entahlah.
Tapi dengan semua
kejadian ini gue berharap sahabat merangkap “atasan” gue tersebut juga bersikap
profesional, dalam hal ini membedakan urusan personal dan organisasi. Gue
berharap ini tidak merubah persahabatan kita, atau bahkan mungkin merenggangkan
kita. Sebuah hal yang gue anggap unik, karena tepat beberapa hari sebelumnya
ketika kami menghabiskan waktu berjam-jam di sebuah coffe shop di bilangan jalan Margonda, gue melontarkan pertanyaan
seperti ini:
“ketika gue dekat dengan seseorang, gue selalu takut akan jauh dari dia dan akhirnya memikirkan hal apa yang kira-kira membuat kita jauh. Menurut lo, kita bisa jauh karena apa ya?”
Pertanyaan yang
dijawabnya dengan cukup simpel,
“ketika lo menyatakan suka sama gue.”
Dan sekarang, ketika kondisinya
seperti ini, ketika gue mengecewakannya dengan dalam, ketika gue membuatnya
ingin menangis, apakah semuanya akan berubah?
No comments:
Post a Comment